Tuesday, July 29, 2014

Psikologi Agama

A.    Pengertian Psikologi Agama
1.    Pengertian psikologi
Psikologi berasal dari kata yunani psyce yang artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya ( ilmu jiwa ). Secara umum, psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia.
1.    Menurut Dr. Singgih Dirgagunarsa, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
2.    Menurut plato dan Aristoteles, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari teentang hakekat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
3.    Menurut Clifford T. Morgan, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.
4.    Menurut H. Sumardi, MSI, psikologi adalah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap serta tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala jiwa yang berada di belakangnya.
5.    Menurut Ricard H. Thouless, psikologi adalah ilmu tentang tingkah laku pengalaman manusia.
6.    Menurut Jalaluddin, psikologi adalah imu yang mempalajari gejala jiwa manusia yanng normal, dewasa, dan beradab.



2.    Pengertian Agama
Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Banyak para ahli yang berpendapat tentang arti agama, diantaranya :
1.    Menurut Harun Nasution, agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi ( relegere, religare ) dan agama. Al-din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Adapun dari kata religi (Latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian, religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a = tak, gam = pergi mengandung arti tak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun.  Harun Nasution merumuskan empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu kekuatan gaib, keyakinan terhadap kekuatan gaib, respons yang bersifat emosional, dan paham akan adanya kudus (sacred).
2.    Menurut Robert H. Thouless, fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada Tuhan atau Dewa- Dewa sebagai ukuran yang menentukan dan tak boleh diabaikan. Menurutnya, dalam kaitan dengan psikologi agama, ia mengemukakan bahwa definisi agama adalah sikap (cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fiisik yang terikat ruang dan waktu -the spatio-temporal physical world (dunia spiritual).

3.    Pengertian Psikologi Agama
1.    Menurut Robert Thouless, psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari  kajian terhadap perilaku bukan keagamaan.
2.    Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.

B.    Ruang Lingkup dan Kegunaan Psikologi Agama
Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama, yang dianut). Oleh karena itu menurut Zakiah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:
1.    Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2.    Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin.
3.    Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.    Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surge dan neraka serta dosa dan pahala yang turut member pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.    Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.
Semua itu menurut Zakiah Daradjat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Yang dimaksud kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah).
Hasil kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan mungkin pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan hasil kajian psikologi agama untuk kepentingan politik.
Di bidang industri juga psikologi agama dapat dimanfaatkan. Sekitar tahun 1950-an di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan Sungai Gerong) diselenggarakan ceramah agama Islam untuk para buruhnya. Para penceramah adalah para pemuka agama setempat.
Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran agama. Pengobatan pasien di rumah-rumah sakit, usaha bimbingan dan penyuluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan banyak dilakukan dengan menggunakan psikologi agama ini. Demikian pila dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan moral dan mental keagamaan peserta didik.

C.    Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1.    Prinsip biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif.
2.    Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3.    Prinsip eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.

Timbulnya Agama Pada Anak
Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. Beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak, antara lain:
1.    Rasa Ketergantungan (Sense of Depend)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognation).
2.    Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi dilahirkan sudah memiliki beberapa insting di antaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna.

D.    Proses Perkembangan Agama pada Anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Children, ia menyatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.    The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
2.    The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya.
3.    The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a.    Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b.    Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.    Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama. Namun keberagaman tersebut memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar.

E.    Sifat-sifat Agama pada Anak
Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya, konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Adapun bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.     Unreflective (Tidak Mendalam)
Dalam penelitian Manchion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian, anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekadarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
2.    Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep kaegamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
3.    Anthromorphis
Pada umumnya, konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
4.    Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata, kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
5.    Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.    Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif.

F.    Proses Perkembangan Agama Usia Remaja

Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa Juvenilitas (adolescantium), pubertas, dan  nubilitas.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
a.    Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul.
b.    Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kea rah tindakan seksual yang negatif.
c.    Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebi cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d.    Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1.    Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2.    Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.    Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4.    Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5.    Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e.    Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.
f.    Ibadah
1)    Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan bahwa 31 orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui prose alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.
2)    Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut:
a)    42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali
b)    27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka terima.
c)    4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting.

G.    Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Keagamaan Remaja
1.    Faktor Intern
a.    Faktor Hereditas
Kajian mengenai genetika pada manusia berlanjut hingga ke unsure gen manusia yang terkecil, yaitu deoxyribonnucleit acid (DNA). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa DNA yang berbentuk tangga berpilin itu terdiri atas pembawa sifat yang berisi informasi gen.
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsure kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif.
b.    Tingkat Usia
Dalam The Development of Religious on Children, Ernest Harms mengungkapkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan, termasuk perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya, pada usia remaja, saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka.
c.    Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian.
Berdasarkan pendekatan pertama, Edward Spranger, Sheldon, dan sejumlah psikolog lainnya telah mengidentifikasi adanya tipe-tipe kepribadian. Edward Spranger membagi tipe kepribadian menjadi enam, yaitu: manusia ilmu, manusia sosial, manusia ekonomi, manusia estetis, manusia politik, dan manusia religius.
d.    Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan bahwa gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Gejala-gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi syaraf, kejiwaan, dan kepribadian.
2.    Faktor Ekstern
a.    Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Sigmund Freud dengan konsep Father Image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra anak terhadap bapaknya. Jika seorang bapak menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, anak akan cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku sang bapak pada dirinya. Demikian pula sebaliknya, jika bapak menampilkan sikap buruk, hal tersebut juga akan ikut berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.
b.    Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional yang ikut memengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa, pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murud; dan 3) hubungan antar-anak. Pada prinsipnya, perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur.
c.    Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negatif.

H.    Konflik dan Keraguan
Dari analisis hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah faktor:
1.    Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
a.    Bagi seseorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
b.    Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.
2.    Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini dapat menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja.
3.    Pernyataan kebutuhan manusia
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal.
4.    Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
5.    Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama.
6.    Percampuran antara agama dan mistik
Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja.
Selanjutnya, secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai kepercayaan, tempat suci, alat perlengkapan keagamaan, fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan, pemuka agama, Biarawan dan Biarawati, serta perbedaan aliran dalam keagamaan.
Keragu-raguan yang demikian akan menjurus kea rah munculnya konflik dalam diri para remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan yang salah.
Konflik ada beberapa macam di antaranya:
1.    Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu
2.    Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan
3.    Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme
4.    Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.

I.    Perkembangan Jiwa Keagamaan Usia Dewasa
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi 3 bagian:
1.    Masa dewasa awal (young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru.
2.    Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru.
3.    Masa usia lanjut (older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan.
Pembagian senada juga diungkap oleh beberapa ahli psikologi, Lewis Sherril membagi masa dewasa sebagai berikut :
a.    Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b.    Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup sambil memantapkan tempat dan mengembangkan filsafat dan mengolah kenyataan dengan kata lain mencapai pandangan hidup yang matang.
c.    Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ”pasrah”. Pada masa ini minat dan kegiatan kurang beragama.
Dalam memahami agama pada masa dewasa, H. Carl Witherington menjelaskan bahwa pada masa ini seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem yang bersumber pada ajaran-ajaran agama maupun yang bersumber pada norma-norma lain dalam kehidupan. Dengan demikian, keagamaan di usia dewasa sulit diubah.

J.    Sikap Keberagamaan pada Orang Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1.    Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekadar ikut-ikutan.
2.    Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.    Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.    Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.    Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.    Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.    Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.    Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.

K.    Perkembangan Jiwa Keagamaan Usia Lanjut

Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat.  Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
1.    Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan.
2.    Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.

L.    Sikap Keberagamaan pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.    Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.    Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan
3.    Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh
4.    Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antarsesama manusia, secara sifat-sifat luhur.
5.    Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.    Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).

M.    Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja.
Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:
1.    Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia. Wujud ini disebut system budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya.
2.    Kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat konkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut system sosial. System sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari system budaya.
3.    Wujud sebagai benda:
Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang konkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak.

N.    Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan

Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu (Koentjaraningrat, 1986: 80-90):
1.    Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang bentuknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2.    Sistem sosial (social system)
Sistem sosial berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkret dan dapat diamati.
3.    Benda-benda budaya (material culture)
Benda-benda budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan material. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Selanjutnya, isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri atas tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Dengan demikian, dilihat dari bentuk dan isi, kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan suatu masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret, pernyataan Koentjaraningrat tersebut dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu komunitas keagamaan.
Menurut Robert C. Monk, memang pengalaman agama umumnya bersifat individual. Tetapi, karena pengalaman agama yang dimiliki umumnya selalu menekankan pada pendekatan keagamaan bersifat pribadi, hal ini senantiasa mendorong seseorang untuk mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu dalam sikap, tingkah laku, dan praktik-praktik keagamaan yang dianutnya.
Tradisi keagamaan menurut Monk menunjukkan kepada kompleksitas pola-pola tingkah laku, sikap-sikap, dan kepercayaan atau keyakinan yang berfungsi untuk menolak atau menaati suatu nilai penting (nilai-nilai) oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.

O.    Pengaruh Kebudayaan Era Globalisasi terhadap Jiwa Keagamaan
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barangkali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Prof. Dr. Mar’at mengemukakan beberapa teori mengenai perubahan sikap ini. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Menurut pendekatan psikologi, keterikatan terhadap tradisi keagamaan lebih tinggi pada orang-orang yang sudah berusia lanjut ketimbang generasi muda. Tingkat usia ikut menentukan dalam hal ini. Temuan ini setidaknya menunjukkan bahwa perubahan sikap terhadap perubahan yang terjadi akan lebih mudah terjadi di kalangan generasi muda. Mereka lebih mudah menerima perubahan dibandingkan dengan generasi lebih tua.
Era global memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab, mau tidak mau, siap tidak siap perubahan itu diperkirakan bakal terjadi. Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintasbudaya.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecenderungan pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan, kecenderungan ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.









DAFTAR PUSTAKA


Arifin, Bambang Syamsul, Psikologi Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009
Sulaeman, M. Munandar, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung: PT. Refika Aditama, 1998
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
www.http:// Perkembangan Jiwa Agama pada Orang Dewasa// diakses pada tanggal 05 November 2012
www.http:// Psikologi Agama// diakses pada tanggal 01 November 2012


0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2010 Oman Priadi | Design : Noyod.Com | Images : Red_Priest_Usada, flashouille